Februari 2018 - Raytecho -->
Latest Update
Fetching data...

Jumat, 16 Februari 2018

Kaidah Kebahasaan Teks Biografi


Mengidentifikasi Kaidah Bahasa Teks Biografi


Biografi yakni riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Dalam biografi disajikan sejarah hidup, pengalaman-pengalaman, hingga kisah sukses orang yang sedang diulas. 
Umumnya, biografi menampilkan tokoh-tokoh terkenal, orang sukses, atau orang yang telah berperan besar dalam suatu hal yang menyangkut kehidupan orang banyak. Membaca sebuah biografi akan memperkaya wawasan dan sebagai teladan supaya sanggup menjalani kehidupan dengan baik dan mengisi hidup dengan karya yang bermanfaat, tentunya hal itu tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Teks biograf memakai beberapa kaidah kebahasaan yang dominan.
1. Menggunakan pronomina (kata ganti) orang ketiga tunggal ia atau dia atau beliau. Kata ganti ini dipakai secara bervarisi dengan penyebutan nama tokoh atau panggilan tokoh.
Contoh:
George Saa, putra Papua sangat menyukai pelajaran fsika. Ia berasal dari keluarga yang kurang bisa secara ekonomi. Berkat ketekunannya, Si Genius dari Papua ini mendapat beasiswa hingga ke luar negeri. Meski sekarang telah sukses, Oge, begitu biasanya dia dipanggil, tetap menjadi
pribadi yang ramah dan tidak sombong.
2. Banyak memakai kata kerja tindakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa atau perbuatan fsik yang dilakukan oleh tokoh.
Contoh: belajar, membaca, berjalan, melempar.
3. Banyak memakai kata adjektiva untuk menawarkan info secara rinci ihwal sifat-sifat tokoh.
Contoh: Kata sifat untuk mendeskripsikan tabiat tokoh antara lain genius, rajin, ulet. Dalam melaksanakan deskripsi, seringkali penggunaan kata sifat didahului oleh kopulatif adalah, merupakan.

4. Banyak memakai kata kerja pasif untuk menjelaskan insiden yang dialami tokoh sebagai subjek yang diceritakan.
Contoh: diberi, ditugaskan, dipilih.
5. Banyak memakai kata kerja yang bekerjasama dengan acara mental dalam rangka penggambaran kiprah tokoh.
Contoh: memahami, menyetujui, menginspirasi, mencintai.

6. Banyak memakai kata sambung, kata depan, ataupun nomina yang berkenaan dengan urutan waktu.
Contoh: sebelum, sudah, pada saat, kemudian, selanjutnya, sampai, hingga, pada tanggal, nantinya, selama, ketika itu. Hal ini terkait dengan contoh pengembangan teks dongeng ulang yang pada umumnya bersifat kronologis.
Sumber:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas X SMA/MA/SMK/MAK. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 
Read More

Kamis, 15 Februari 2018

Ciri Kebahasaan Teks Drama


CIRI KEBAHASAAN TEKS DRAMA
Drama merupakan karya fksi yang dinyatakan dalam bentuk dialog. Oleh alasannya ialah itu, kalimat-kalimat yang tersaji di dalamnya hampir semuanya berupa obrolan atau tuturan pribadi para tokohnya. Ada kalimat-kalimat tidak pribadi ada  pula bab prolog dan epilognya.
Fitur-ftur kebahasaan pada drama antara lain, memakai kata ganti orang ketiga pada bab prolog atau epilognya. Karena melibatkan banyak pelaku (tokoh), kata ganti yang lazim dipakai ialah mereka.Lain halnya dengan bab dialognya, yang kata gantinya ialah kata orang pertama dan kedua. Mungkin juga dipakai kata-kata sapaan.
Kata-kata ganti yang dimaksud ialah saya, kami, kita, Anda. Adapun teladan kata sapaannya ialah Panembahan, Raja, dan sebagainya. .
Sebagaimana halnya percakapan sehari-hari, obrolan dalam teks drama sering kali memakai kosakata percakapan, ibarat oh, ya, aduh, sih, dong. Mungkin di dalamnya banyak ditemukan kata-kata yang tidak baku dan juga tidak lepas dari kalimat-kalimat seru, suruhan, pertanyaan.
Berikut contoh-contohnya.
• Ah, ya!
• Ampun seribu ampun!
• Bagus! Bagus!
• Atas dasar kekuatan!
• Jangan khawatir Jangan hingga mereka menjadi korban dari pancaroba perubahan.
• Sri .... Ratu Dara?
• Bagaimanakah keadaan mereka?
Selain itu, teks drama mempunyai ciri-ciri kebahasaan sebagai berikut.
1) Banyak memakai kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi kronologis).
Contoh: sebelum, sekarang, sesudah itu, mula-mula, kemudian.
2) Banyak memakai kata kerja yang menggambarkan suatu bencana yang terjadi, ibarat menyuruh, menobatkan, menyingkirkan, menghadap, beristirahat.
3) Banyak memakai kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh.
Contoh: merasakan, menginginkan, mengarapkan, mendambakan, mengalami
4) Menggunakan kata-kata sifat (descriptive language) untuk menggabarkan tokoh, tempat, atau suasana. Kata-kata yang dimaksud, misalnya, rapi, bersih, baik, gagah, kuat.
Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Read More

Ciri Kebahasaan Teks Drama


CIRI KEBAHASAAN TEKS DRAMA
Drama merupakan karya fksi yang dinyatakan dalam bentuk dialog. Oleh alasannya ialah itu, kalimat-kalimat yang tersaji di dalamnya hampir semuanya berupa obrolan atau tuturan pribadi para tokohnya. Ada kalimat-kalimat tidak pribadi ada  pula bab prolog dan epilognya.
Fitur-ftur kebahasaan pada drama antara lain, memakai kata ganti orang ketiga pada bab prolog atau epilognya. Karena melibatkan banyak pelaku (tokoh), kata ganti yang lazim dipakai ialah mereka.Lain halnya dengan bab dialognya, yang kata gantinya ialah kata orang pertama dan kedua. Mungkin juga dipakai kata-kata sapaan.
Kata-kata ganti yang dimaksud ialah saya, kami, kita, Anda. Adapun teladan kata sapaannya ialah Panembahan, Raja, dan sebagainya. .
Sebagaimana halnya percakapan sehari-hari, obrolan dalam teks drama sering kali memakai kosakata percakapan, ibarat oh, ya, aduh, sih, dong. Mungkin di dalamnya banyak ditemukan kata-kata yang tidak baku dan juga tidak lepas dari kalimat-kalimat seru, suruhan, pertanyaan.
Berikut contoh-contohnya.
• Ah, ya!
• Ampun seribu ampun!
• Bagus! Bagus!
• Atas dasar kekuatan!
• Jangan khawatir Jangan hingga mereka menjadi korban dari pancaroba perubahan.
• Sri .... Ratu Dara?
• Bagaimanakah keadaan mereka?
Selain itu, teks drama mempunyai ciri-ciri kebahasaan sebagai berikut.
1) Banyak memakai kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi kronologis).
Contoh: sebelum, sekarang, sesudah itu, mula-mula, kemudian.
2) Banyak memakai kata kerja yang menggambarkan suatu bencana yang terjadi, ibarat menyuruh, menobatkan, menyingkirkan, menghadap, beristirahat.
3) Banyak memakai kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh.
Contoh: merasakan, menginginkan, mengarapkan, mendambakan, mengalami
4) Menggunakan kata-kata sifat (descriptive language) untuk menggabarkan tokoh, tempat, atau suasana. Kata-kata yang dimaksud, misalnya, rapi, bersih, baik, gagah, kuat.
Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Read More

Unsur-Unsur Drama



UNSUR-UNSUR DRAMA
Berikut paparan ihwal unsur-unsur drama
1. Latar
Latar yakni keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah drama.
a. Latar tempat, yaitu penggambaran daerah insiden di dalam naskah drama, ibarat di rumah, medan perang, di meja makan.
b. Latar waktu, yaitu penggambaran waktu insiden di dalam naskah drama, ibarat pagi hari pada tanggal 17 Agustus 1945.
c. Latar suasana/budaya, yaitu penggambaran suasana ataupun budaya yang melatarbelakangi terjadinya adegan atau insiden dalam drama contohnya dalam budaya Jawa, dalam kehidupan
masyarakat Betawi, Melayu, Sunda, Papua.
2. Penokohan
Tokoh-tokoh dalam drama diklasifkasikan sebagai berikut.
a. Tokoh gagal atau tokoh badut (the foil).
Tokoh ini yang mempunyai pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain. Kehadiran tokoh ini berfungsi untuk menegaskan tokoh lain itu.
b. Tokoh idaman (the type character).
Tokoh ini berperan sebagai satria dengan karakternya yang gagah, berkeadilan, atau terpuji.
c. Tokoh statis (the static character).
Tokoh ini mempunyai tugas yang tetap sama, tanpa perubahan, mulai dari awal hingga simpulan cerita.
d. Tokoh yang berkembang. Misalnya, seorang tokoh berubah dari setia ke huruf berkhianat, dari yang bernasib sengsara menjadi kaya raya, dari yang semula yakni seorang koruptor menjadi orang yang saleh dan budiman.
3. Dialog
Dalam drama, percakapan atau obrolan haruslah memenuhi dua tuntutan.
a. Dialog harus turut menunjang gerak laris tokohnya. Dialog haruslah dipergunakan untuk mencerminkan apa yang telah terjadi sebelum dongeng itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama dongeng itu berlangsung; dan harus pula sanggup mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas.
b. Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara terperinci dan sempurna sasaran.
Dialog itu disampaikan secara masuk akal dan alamiah.
4. Tema yakni gagasan yang menjalin struktur isi drama. Tema dalam drama menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.
Untuk mengetahui tema drama, kita perlu mengapresiasi menyeluruh terhadap banyak sekali unsur karangan itu. Tema jarang dinyatakan secara tersurat. Untuk sanggup merumuskan tema, kita harus memahami drama itu secara keseluruhan.
5. Pesan atau amanat merupakan pedoman budbahasa didaktis yang disampaikan drama itu kepada pembaca/penonton. Amanat tersimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi drama.

Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.




Read More

Struktur Teks Drama


STRUKTUR TEKS DRAMA
Sebagaimana jenis teks lainnya, drama terdiri atas bagian-bagian  yang tersusun secara sistematis. Susunan bagian-bagian drama tersebut bahwasanya merupakan salah unsur drama pula, yakni yang biasa disebut  dengan alur.
Seperti juga bentuk-bentuk sastra lainnya, sebuah dongeng drama pun harus bergerak dari suatu permulaan, melalui suatu penggalan tengah, menuju suatu akhir. Ketiga penggalan itu diapit oleh dua penggalan penting lainnya, yakni prolog dan epilog.
1. Prolog yaitu kata-kata pembuka, pengantar, ataupun latar belakang cerita, yang biasanya disampaikan oleh dalang atau tokoh tertentu.
2. Epilog yaitu kata-kata penutup yang berisi kesimpulan atapun amanat wacana isi keseluruhan dialog. Bagian ini pun biasanya disampaikan oleh dalam atau tokoh tertentu. Adapun ketiga penggalan itu adanya dalam dialog, yang mencakup penggalan orientasi, komplikasi, dan resolusi (denouement). Bagian-bagian itu terbagi dalam babab-babak dan adegan-adegan. Satu babak biasanya mewakili satu kejadian besar dalam obrolan yang ditandai oleh suatu perubahan atau
perkembangan kejadian yang dialami tokoh utamanya. Adapun adegan hanya melingkup satu pilahan-pilahan obrolan antara beberapa tokoh. 
a. Orientasi sesuatu dongeng memilih agresi dalam waktu dan tempat; memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi sesuatu cerita, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam penggalan utama dongeng tersebut, dan ada kalanya membayangkan resolusi yang akan dibentuk dalam dongeng itu.
b. Komplikasi atau penggalan tengah cerita, menyebarkan konflik. Sang jagoan atau pelaku utama menemukan rintangan-rintangan antara ia dan tujuannya, ia mengalami aneka kesalahpahaman dalam usaha untuk menanggulangi rintangan-rintangan ini.
c. Resolusi atau denouement hendaklah muncul secara logis dari apaapa yang telah  mendahuluinya di dalam komplikasi. Titik batas yang memisahkan komplikasi dan resolusi, biasanya disebut titik puncak (turning point). Pada titik puncak itulah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh. Kepuasan para penonton terhadap suatu dongeng tergantung
pada sesuai-tidaknya perubahan itu dengan yang mereka harapkan. Pengarang sanggup mempergunakan teknik flashback atau sorot balik untuk memperkenalkan penonton dengan masa kemudian sang pahlawan, menjelaskan suatu situasi, atau untuk memperlihatkan motivasi bagi aksi-aksinya.

Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Read More

Pengertian Dan Jenis-Jenis Drama



PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS DRAMA

A.  Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti ‘berbuat, berlaku, bertindak, beraksi, dan sebagainya’. Drama berarti ‘perbuatan, tindakan atau action’. Drama sanggup pula diartikan sebagai sebuah lakon atau dongeng berupa kisah kehidupan dalam obrolan dan lakuan tokoh yang berisi konflik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) drama mempunyai beberapa pengertian. Pertama, drama diartikan sebagai syair atau prosa yang menggambarkan kehidupan dan moral melalui tingkah laris (akting) atau obrolan yang dipentaskan. Kedua, dongeng atau kisah yang melibatkan konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan teater.
Pengertian lain, drama yakni kisah kehidupan insan yang dikemukakan di pentas menurut naskah, memakai percakapan, gerak laku, unsur-unsur pembantu (dekor, kostum, rias, lampu, musik), serta disaksikan oleh penonton.
B. Jenis-Jenis Drama
Terdapat beberapa bentuk drama, di antaranya, yakni sebagai berikut.
1. Berdasarkan bentuk sastra cakapannya, drama dibedakan menjadi dua
a. Drama puisi, yaitu drama yang sebagian besar cakapannya disusun dalam bentuk puisi atau memakai unsur-unsur puisi.
b. Drama prosa, yaitu drama yang cakapannya disusun dalam bentuk prosa.
2. Berdasarkan menu isinya
a. Tragedi (drama duka), yaitu drama yang menampilkan tokoh yang sedih atau muram, yang terlibat dalam situasi gawat alasannya sesuatu yang tidak menguntungkan. Keadaan tersebut mengantarkan tokoh pada keputusasaan dan kehancuran. Dapat juga berarti drama serius yang melukiskan pertikaian di antara tokoh utama dan kekuatan yang luar biasa, yang berakhir dengan malapetaka atau kesedihan.
b. Komedi (drama ria), yaitu drama ringan yang bersifat menghibur, walaupun selorohan di dalamnya sanggup bersifat menyindir, dan yang berakhir dengan senang
c. Tragikomedi (drama dukaria), yaitu drama yang bahu-membahu memakai alur dukacita tetapi berakhir dengan kebahagiaan.
3. Berdasarkan kuantitas cakapannya
a. Pantomim, yaitu drama tanpa kata-kata
b. Minikata, yaitu drama yang memakai sedikit sekali kata-kata.
c. Doalogmonolog, yaitu drama yang memakai banyak katakata.
4. Berdasarkan besarnya efek unsur seni lainnya
a. Opera, yaitu drama yang menonjolkan seni bunyi atau musik.
b. Sendratari, yaitu drama yang menonjolkan seni eksposisi.
c. Tablo, yaitu drama yang menonjolkan seni eksposisi.
5. Bentuk-bentuk lain
a. Drama absurd, yaitu drama yang sengaja mengabaikan atau melanggar konversi alur, penokohan, tematik.
b. Drama baca, naska drama yang hanya cocok untuk dibaca, bukan dipentaskan.
c. Drama borjuis, drama yang bertema wacana kehidupan kaum aristokrat (muncul masa ke-18).
d. Drama domestik, drama yang menceritakan kehidupan rakyat biasa.
e. Drama duka, yaitu drama yang khusus menggambarkan kejathan atau keruntuhan tokoh utama
f. Drama liturgis, yaitu drama yang pementasannya digabungkan dengan upacara kebaktian gereja (di Abad Pertengahan).
g. Drama satu babak, yaitu lakon yang terdiri dari satu babak, berpusat pada satu tema dengan sejumlah kecil pemain film gaya, latar, serta pengaluran yang ringkas.
h. Drama rakyat, yaitu drama yang timbul dan berkembang sesuai dengan festival rakyat yang ada (terutama di pedesaan).

Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.





Read More

Selasa, 13 Februari 2018

Contoh Analisis Struktur Dan Ciri Kebahasaan Teks Resensi



CONTOH ANALISIS STRUKTUR DAN CIRI KEBAHASAAN TEKS RESENSI

A.    Contoh Resensi 

Petualangan Bocah di Zaman Jepang 

Judul Novel : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tebal : x + 434 halaman
Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado. Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya yaitu bocah laki-laki
berusia sepuluh tahun sedangkan dalam novel Ca Bau Kan yang telah diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta Kota masa zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini?
Dalam Saksi Mata, yang menjadi “jagoan” alias tokoh utamanya yaitu bocah berusia dua belas tahun berjulukan Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko dan mengambil seting kota Surabaya di zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sendiri bersama-sama merupakan kisah bersambung yang dimuat di Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 sampai 2 April 1998.
Kisah berawal dikala Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah bercinta dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan gres diketahui oleh Kuntara jika Wiradad yaitu suami sah dari Bulik Rum. “Pemandangan” yang luar biasa itu dan belum patut untuk disaksikan oleh Kuntara menciptakan perasaan hatinya berkecamuk. Kuntara pun masygul dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti jika ternyata Bulik Rum yang bagus ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.

Bulik Rum yaitu “wanita simpanan” tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung Asko. Mau tidak mau Bulik Rum harus melayani nafsu Ichiro Nishizumi kapan saja. Sebenarnya Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak bisa mencegah harapan Ichiro Nishizawa yang sangat berkuasa ini. Tetapi Wiradad tidak mau mengalah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.
Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Okada yang merupakan guru Kuntara di sekolah rakyat Mohan-gakko berupaya untuk melampiaskan nafsunya kepada Bulik Rum, yang dengan tegas menolak harapan Okada. Okada yang gelap mata ini segera menikamkan samurai kecilnya sampai akibatnya Bulik Rum terbunuh di bungker perlindungan. Okada yang selama ini sangat dihormati oleh Kuntara tenyata mempunyai watak tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa, sama-sama doyan tidur dengan banyak sekali macam perempuan.
Dari sinilah awal kisah “petualangan” Kuntara dalam mengungkap kasus terbunuhnya Bulik Rum sampai upaya untuk membalas dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada.
Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan—tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan banyak sekali kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya.
Dengan segala “kecerdikan” ala detektif cilik Lima Sekawan Kuntara berupaya menuntaskan kasus ini bersama dengan Wiradad.
***
Sangat jarang sekali novel-novel “serius” di Indonesia yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yang memakai tokoh utama seorang anak kecil, selain dari novel Mencoba Tidak Menyerahnya Yudhistira ANM, mungkin hanya novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca kisah sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil lantaran ia mempunyai perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang gres berusia dua belas tahun menanggapi banyak sekali insiden yang terjadi dengan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya pada masa penjajahan Jepang dan dengan “kepintarannya” ia mencoba untuk memecahkan problem tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan
bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?

Keunggulan lain dari novel ini yaitu penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau”
Hindia Belanda lantaran nama-nama jalannya masih memakai nama-nama Belanda. Juga ihwal bungker-bungker pemberian yang dipakai untuk bersembunyi kala ada serangan udara--kebetulan dikala itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga ihwal
stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.

Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata terang tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia yaitu penulis yang hidup dalam tiga zaman- -kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan.
Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada kisah yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele. Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Tetapi uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Makara bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, menyerupai saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri. (Dodiek Adyttya Dwiwa dalam Cybersastra.net)
 

Sumber:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.2017. Bahasa Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK.. Edisi Revisi Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

B.     Analisis Struktur Resensi

1.      Judul resensi

Petualangan Bocah di Zaman Jepang

2.      Identitas buku yang diresensi

Judul Novel : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tebal : x + 434 halaman

3.      Pendahuluan (memperkenalkan pengarang, tujuan pengarang buku, dll)

Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado. Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya yaitu bocah laki-laki

berusia sepuluh tahun sedangkan dalam novel Ca Bau Kan yang telah diangkat ke layar lebar, digambarkan bagaimana keadaan Jakarta Kota masa zaman penjajahan Belanda dengan sangat detail. Lalu apa hubungannya dengan novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini?

Dalam Saksi Mata, yang menjadi “jagoan” alias tokoh utamanya yaitu bocah berusia dua belas tahun berjulukan Kuntara, seorang pelajar sekolah rakyat Mohan-gakko dan mengambil seting kota Surabaya di zaman penjajahan Jepang dengan penggambaran yang sangat apik, detail dan sangat memikat. Novel setebal 434 halaman ini sendiri bersama-sama merupakan kisah bersambung yang dimuat di Harian Kompas pada rentang waktu 2 November 1997 sampai 2 April 1998.

4.      Inti/isi resensi

Kisah berawal dikala Kuntara secara tidak sengaja memergoki buliknya Raden Ajeng Rumsari alias Bulik Rum tengah bercinta dengan Wiradad di sebuah bungker perlindungan-belakangan gres diketahui oleh Kuntara jika Wiradad yaitu suami sah dari Bulik Rum. “Pemandangan” yang luar biasa itu dan belum patut untuk disaksikan oleh Kuntara menciptakan perasaan hatinya berkecamuk. Kuntara pun masygul dengan apa yang dilakukan oleh Bulik Rum yang selama ini selalu dihormatinya. Namun ia bisa mengerti jika ternyata Bulik Rum yang bagus ini menyembunyikan sejuta kisah yang tak bakal disangka-sangka.

Bulik Rum yaitu “wanita simpanan” tuan Ichiro Nishizumi, meski pekerjaan sehari-harinya bekerja di pabrik karung Asko. Mau tidak mau Bulik Rum harus melayani nafsu Ichiro Nishizumi kapan saja. Sebenarnya Bulik Rum sudah menikah dengan Wiradad tetapi tuan Ichiro Nishizumi tidak peduli dengan semua itu dan memboyongnya ke Surabaya. Baik Wiradad maupun ayah Bulik Rum sendiri tidak bisa mencegah harapan Ichiro Nishizawa yang sangat berkuasa ini. Tetapi Wiradad tidak mau mengalah begitu saja dan segera menyusul Bulik Rum ke Surabaya.

Saat Wiradad akan bertemu dengan Bulik Rum inilah terjadi sesuatu yang diluar dugaan. Okada yang merupakan guru Kuntara di sekolah rakyat Mohan-gakko berupaya untuk melampiaskan nafsunya kepada Bulik Rum, yang dengan tegas menolak harapan Okada. Okada yang gelap mata ini segera menikamkan samurai kecilnya sampai akibatnya Bulik Rum terbunuh di bungker perlindungan. Okada yang selama ini sangat dihormati oleh Kuntara tenyata mempunyai watak tidak beda dengan Tuan Ichiro Nishizawa, sama-sama doyan tidur dengan banyak sekali macam perempuan.

Dari sinilah awal kisah “petualangan” Kuntara dalam mengungkap kasus terbunuhnya Bulik Rum sampai upaya untuk membalas dendamnya bersama dengan Wiradad kepada tuan Ichiro Nishizawa dan juga Okada.

Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan—tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan banyak sekali kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya.

Dengan segala “kecerdikan” ala detektif cilik Lima Sekawan Kuntara berupaya menuntaskan kasus ini bersama dengan Wiradad.
5.      Keunggulan buku

Sangat jarang sekali novel-novel “serius” di Indonesia yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yang memakai tokoh utama seorang anak kecil, selain dari novel Mencoba Tidak Menyerahnya Yudhistira ANM, mungkin hanya novel Ketika Lampu Berwarna Merah karya cerpenis Hamsad Rangkuti. Adalah hal yang menarik apabila membaca kisah sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil lantaran ia mempunyai perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi, bila dibandingkan dengan orang dewasa. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang Kuntara yang gres berusia dua belas tahun menanggapi banyak sekali insiden yang terjadi dengan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya pada masa penjajahan Jepang dan dengan “kepintarannya” ia mencoba untuk memecahkan problem tersebut. Meski menarik tetap saja akan memunculkan pertanyaan

bagaimana bisa bocah dua belas tahun menjadi “sangat pintar”?

Keunggulan lain dari novel ini yaitu penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang), malah ada lampiran petanya segala! Suasana kota Surabaya di zaman itu juga “direkam” dengan indah oleh Suparto Brata. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau”

Hindia Belanda lantaran nama-nama jalannya masih memakai nama-nama Belanda. Juga ihwal bungker-bungker pemberian yang dipakai untuk bersembunyi kala ada serangan udara--kebetulan dikala itu tengah berkecamuk Perang Dunia II. Tidak ketinggalan juga ihwal

stasiun kereta api Gubeng yang tersohor itu.

Sebagai arek Suroboyo yang tentunya mengenal seluk beluk kota Buaya ini, Suparto Brata terang tidak mengalami kesulitan untuk melukiskan keadaan ini. Apalagi ia yaitu penulis yang hidup dalam tiga zaman- -kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan.

Penggambaran suasana yang detail ini juga berkonsekuensi kepada kisah yang cukup panjang meski tetap tanpa adanya maksud untuk bertele-tele


6.      Kekurangan buku

Tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Makara bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, menyerupai saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.


7.      Penutup

Novel ini juga diperkaya dengan adanya kosakata dan lagu-lagu Jepang yang makin menghidupkan suasana zaman pendudukan balatentara Jepang di Indonesia. Tetapi uniknya, tidak ada satupun terjemahan untuk kosakata Jepang tersebut. Makara bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, menyerupai saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri.


C.    Ciri Kebahasaan Teks Resensi

Teks resensi tersebut mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan menyerupai berikut.
1. Banyak memakai konjungsi penerang, menyerupai bahwa, yakni, yaitu.

     Contoh pada teks sebagai berikut.

a.       Dalam novel Mencoba Tidak Menyerah, yang menjadi tokoh sentralnya yaitu bocah laki-laki
berusia sepuluh tahun

b.      Keunggulan lain dari novel ini yaitu penggambaran suasana yang detail mengenai kota Surabaya di tahun 1944 (zaman pendudukan Jepang)

2. Banyak memakai konjungsi temporal: sejak, semenjak, kemudian, akhirnya

     Contoh pada teks sebagai berikut.

a. Setelah membaca novel yang sangat tebal ini, saya jadi teringat dengan novel Mencoba Tidak Menyerah-nya Yudhistira A.N. Massardhie dan juga novel Ca Bau Kan-nya Remy Sylado.

b. Sejak kasus terbunuhnya Bulik Rum ini, keluarga Suryohartanan—tempat Kuntara dan ibunya menetap--mulai terlibat dengan banyak sekali kejadian yang mengikutinya. Kuntara yang tidak menginginkan keluarga ini terlibat dengan permasalahan yang terjadi dengan sengaja menyembunyikannya.

       3. Banyak memakai konjungsi penyebababan: karena, sebab.

            Contoh pada teks sebagai berikut.

a. Adalah hal yang menarik apabila membaca kisah sebuah novel “serius” dengan tokoh utama seorang anak kecil karena ia mempunyai perspektif atau pandangan berbeda mengenai dunia dan segala sesuatu yang terjadi

b. Kita bisa membayangkan bagaimanan keadaan kampung SS Pacarkeling yang kala itu masih “berbau” Hindia Belanda karena nama-nama jalannya masih memakai nama-nama Belanda.

4. Menggunakan pernyataan-pernyataan yang berupa saran atau rekomendasi pada belahan tamat teks. Hal ini ditandai oleh kata jangan, harus, hendaknya,

Contoh pada teks sebagai berikut.

Jadi bagi yang tidak mengerti bahasa Jepang, menyerupai saya juga, ya tebak-tebak saja sendiri. 

Baca Juga
Pengertian, Jenis, dan Fungsi Teks Resensi/Ulasan


Struktur dan Ciri Kebahasaan Teks Resensi/Ulasan



Read More